iklan

Tentang Ratu Markonah

Tomi Lebang
SUATU hari di tahun 1950-an, sepasang suami istri diterima Presiden Soekarno di Istana Negara. Mereka adalah Raja Idrus dan Ratu Markonah, Raja dan Ratu Suku Anak Dalam dari Jambi, Sumatera. Sejarawan Anhar Gonggong bercerita bahwa seorang pejabat daerah yang pernah menerima pasangan raja-ratu ini menyarankan Bung Karno untuk bertemu mereka. “Raja dan ratu itu bisa membantu pembebasan Irian Barat,” kata sang pejabat daerah.

Presiden Soekarno menerima mereka dengan tangan terbuka di istana. Media massa turut berpesta: Koran Marhaen dan Duta Masyarakat memasang foto pertemuan antara Presiden Republik Indonesia dan Raja-Ratu Suku Anak Dalam besar-besar. Di foto itu, Ratu Markonah berkaca mata hitam. Keterangan fotonya: "Raja Idrus dan Ratu Markonah akan membantu Indonesia membebaskan Irian Barat".

Semua orang terkesima. Para pejabat juga menyambut pasangan itu dengan hormat dan takzim bila mereka datang berkunjung. Mereka laris diajak berfoto dan diliput wartawan. Ada juga yang mengabarkan Presiden Soekarno memberi mereka uang saku untuk menginap di hotel mewah dan makan gratis selama berminggu-minggu.

Kedok pasangan ini terbongkar saat asyik berwisata dan berbelanja cinderamata di sebuah pasar di Jakarta. Seorang pengunjung pasar yang ikut merubung mereka mengenali Raja Idrus yang ternyata adalah kawan lamanya: mereka pernah sama-sama menarik becak.

Dari kabar itu, seorang wartawan kemudian menemukan jejak Markonah. Sang permaisuri ternyata adalah,”seorang pelacur kelas bawah di Tegal, Jawa Tengah,” tulis Anhar Gonggong.

Di era 1970-an, giliran Presiden Soeharto yang tertarik dengan kabar tentang seorang perempuan bernama Cut Zahara Fona, asal Aceh, yang sedang hamil. Tapi ini bukan kehamilan biasa: sang janin bisa berbicara dan mengaji dan bisa didengar dari dinding perut ibunya. Masyarakat geger, banyak yang datang dan menempelkan kuping di perut Cut Zahara yang berlapiskan kain.

Surat-surat kabar memberitakannya. Bahkan Menteri Luar Negeri Adam Malik sampai mengundang Cut Zahara ke kantornya. Koleganya, Menteri Agama Mohamad Dachlan sempat berkomentar bernada membenarkan: “Imam Syafi’ie pun selama tiga tahun berada di kandungan ibunya,” kata sang menteri saat itu.

Kabar itu juga diberitakan media internasional dan sampai ke Pakistan. Sebuah media memberitakan bahwa pemerintah Pakistan mengundang Cut Zahara dan suaminya berkunjung ke Islamabad, disertai ramalan bahwa sang bayi itu bila lahir kelak akan menjadi Imam Mahdi.

Lingkar terdalam istana, Sekdalopbang (Sekretaris Pengendalian Pembangunan) Bardosono kemudian membawa Cut Zahara Fona dan suaminya kepada sang penguasa Orde Baru. Keduanya dipertemukan dengan Presiden Soeharto dan Ibu Tien di ruang tunggu Bandara Kemayoran.

Rupanya, Ibu Tien tak percaya, apalagi ketika Cut Zahara menolak diperiksa di RS Cipto Mangunkusumo. Saat digeledah, petugas yang diminta Ibu Tien menemukan sebuah tape recorder kecil – barang yang masih langka saat itu -- disisipkan di perut Cut Zahara.

Begitulah. Di setiap zaman selalu ada orang-orang yang akan menguji daya pikir kritis kita. Ada yang menyebut diri reinkarnasi Soekarno, ada yang mengaku pengibar bendera pusaka, ada yang muncul sebagai Supriyadi, pahlawan pemberontakan PETA (Pembela Tanah Air) yang hilang, bahkan ada yang menyebut dirinya titisan Nabi Isa.

Kita menikmatinya sebagai cerita yang menghibur, seperti membaca ramalan bintang -- senang bacanya, tapi tak percaya isinya. Di era seterbuka sekarang, kabar-kabar yang berseliweran selalu menemukan tautan yang menguji kebenarannya.

Selamat berhari minggu para penggemar Ratu Markonah. Semoga berbahagia.

Oleh: Tomi Lebang

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Tentang Ratu Markonah"