iklan

Konsep Bersaudara Ala Pitu Ulunna Salu


Penulis: Muh Gufran Padjalai

Nenek moyang masyarakat Pitu Ulunna Salu (PUS) memiliki ikatan persaudaraan yang sangat kuat. Bahkan diyakini bahwa warga masyarakat PUS yang telah menyebar di banyak wilayah itu, berasal dari asal keturunan yang sama.

Saya sendiri percaya bahwa moyang masyarakat PUS berasal dari satu keturunan yang sama. Atau minimal salah satu dari moyang warga PUS saat ini berasal dari kelompok masyarakat yang datang dari asal yang sama.

Selain itu saya juga jadi berpikir, jangan-jangan bersaudara secara biologis yang awalnya memang dari keturunan yang satu dan tentu semakin lama akan semakin berjarak itu - dalam konteks PUS - tidak hanya dipandang sebagai saudara dalam arti benar-benar lahir dari rahim yang sama, tetapi ini juga merupakan konsep "persaudaraan" yang sengaja dibuat atau dipersaudarakan dengan tujuan agar rumpun masyarakat yang mendiami wilayah PUS pada awalnya, bisa terus-menerus menjaga kedamaian dalam ikatan harmonis sebagai "saudara" dari generasi ke generasi.

Tentang dipersaudarakan atau hubungan kekerabatan yang didekatkan itu, beberapa fakta soal ini, benar-benar saya temukan di lapangan dan bisa saya tunjukkan. Banyak warga PUS yang awalnya tidak bersaudara atau hubungan kekerabatannya telah jauh namun kembali dipersaudarakan. Tujuan dari mempersaudarakan ini juga dilakukan dengan cara menikahkan anak keturunan.

Menjaga hubungan persaudaraan ini juga ditemukan dalam satu falsafah yang dianut leluhur masyarakat di PUS dengan konsep kurang lebih berbunyi: "andai bisa memberi nyawa pada pokok kayu, pokok kayupun adalah saudara."

Sedikit penjelasan; Pokok kayu dari pohon yang ditebang biasanya memang disisakan beberapa jengkal sampai satu meter dari tanah. Pokok kayu ini kadang-kadang jika dilihat sepintas apa lagi pada malam hari, nampak menyerupai orang/manusia yang sedang berdiri. Pokok kayu inilah yang dijadikan pengandaian, seandainya bisa diberi nyawa, pun juga adalah sadara.

Orang-orang terdahulu di PUS juga memiliki kebiasaan menghususkan waktunya datang sampai berhari-hari berdiam di rumah kerabatnya untuk sekedar berkunjung guna mengeratkan persaudaraan. Di situ mereka bercerita dan saling memberi nasehat.

Bagaimana sekarang? Kita hampir saja terjangkit dan mengidap penyakit budaya "siapa loe, siapa gue, nenek gue ini, loe dari mana?" Inilah penyakit budaya individualis yang kadang-kadang berujung pada sikap mau menang sendiri.

Semangat dan kegiatan gotong royong jadi "barang" antik. Hanya dipicu persoalan sedikit saja, banyak kasus yang akhirnya berujung rumah sakit dan tak sedikit nyawa yang direnggut maut di ujung badik. Hanya soal pemekaran wilayah misalnya, warga saling kejar dengan parang.

Padahal leluhur kita menganut ada' tuho (adat hidup). Ada' tuho, ada' tuo atau adat hidup. Ada' tuho berisi prinsip yang menempatkan nyawa manusia begitu sangat dihargai. Semua persoalan bisa diselesaikan damai dengan hukum adat yang telah dibuat dengan tentu saja sanksinya juga dibuat bertingkat.

Dasar utamanya adalah; mo diitang balimbunganna ada', tuho ta(m)mate mapia ta(ng)kadake; jika sudah kelihatan puncak atap rumah (kiasan) adat, hidup tak mati, baik tidak rusak. Kira-kira maknnya; jika sebuah masalah sudah dibawa atau dihadapkan pada (hukum) adat, semuanya pasti selesai.

Sebenarnya ungkapan di atas artinya bisa lebih sangat dalam dan tak cukup bermakna dengan diwakili bahasa Indonesia. Bayangkan jika ungkapan itu menggunakan kalimat "jika sudah kelihatan" masalah sudah selesai.

Dalam ungkapan ini, bahkan masalah belum ditangani; baru dibawa ke muka adat dan baru kelihatan puncak dari (hukum) adat, masalah sudah selesai; yang hidup tidak mati, yang baik tidak rusak.. Hebat gak itu?

Soal kejujuran, kebiasan orang PUS juga sudah tidak bisa diragukan. Sebelum dikenal 'kantin kejujuran" untuk membiasakan jujur dan tak terlibat korupsi, di seluruh wilyah PUS konsep kantin kejujuran telah lama dipraktekkan.

Sisanya masih bisa kita lihat sekarang, ada jualan buah-buahan dan hasil bumi lainnya di pinggir jalan tanpa penunggu. Barangnya boleh diambil dengan meninggalkan sejumlah uang sesuai harga pada tempat yang disediakan.

Nilai-nilai inilah yang seharusnya diperkenalkan dan seharusnya kembali bisa mewarnai kehidupan masyarakat PUS di mana pun berada, sehingga tak membuat malu para pendahulu.

Tentang menghidupkan identitas budaya di mana pun berada, di sini kita bisa bercermin kepada orang Cina misalnya, mereka hidup di manapun tapi identitas budya mereka hidup dan malah mempengaruhi masyarakat lokal.

Atau orang Bali dan suku lain yang tinggal di wialyah Sulbar saat ini. Atau orang jawa yang mendiami salah satu wilayah kecamatan paling potensial di Polman yaitu Wonomulyo.

Nilai-nilai yang akan menjadi identitas itu bisa menjadi pembeda dalam berperilaku, (gak harus beda juga sih kalau kenyataanya orang lain menganut nilai yang sama dalam satu hal).

Tokoh-tokoh masyarakat PUS dan orang-orang tua dari PUS yang tinggal di rantau atau yang tinggal di kampung, seharusnya ini yang mereka pikirkan dengan melihat kondisi memprihatinkan generasi muda sekarang. Nilai-nilai itu seharusnya kembali dikaji dan ditanamkan kepada generasi pelanjut.

Dengan diwariskan, nialai-nilai itu diharapkan bisa menjadi identias yang melekat dalam diri setiap orang PUS. Sehingga identitas PUS atau salah satu wialayah PUS tidak hanya tertera sebagai "nama" yang wujud secara fisik tanpa makna, tapi menjadi ciri utama dalam sikap dan lelaku menjalani hidup.

Sebab nama boleh saja sama, tetapi sikap dan perilakulah yang menentukan. Apalah artinya atribut yang dipasang di papan nama jika tak memiliki makna. Apalah artinya cangkang tanpa isi.

Tentu cangkang penting tapi yang kita butuh isinya. Boleh tidak punya rumah tapi manusia masih bisa tidur dimana saja. Boleh tidak punya tanah air (kampung) misalnya karena hidup di rantau, tapi identitas terlihat jelas, dan memberi warna di mana pun berada. Dengan begitu, di mana pun, tetap bisa menjadi pemberi solusi.

Pertanyaanya sekarang; siapa yang berani dan bisa tampil menjadi pemberi solusi dalam setiap masalah yang dihadapi warga dengan dasar "ta macinna ta mailu" dan berdiri di atas "tappa' anna sindoho"?

Siapapun tampillah! Dengan sedirinya anda akan diberi tempat tersendiri di hati masyarakat, kini dan nanti.

Subscribe to receive free email updates: